Social Icons

Minggu, 31 Mei 2015

Makna RABBANI

Jalan ilmu ialah langkah alih bentuk kekayaan; dari materi ke kualitas diri. Seperti Thalut, dipilih Allah sebab kapasitas fisik & ilmu. Imam Ath Thabari ketika menafsir kata “Rabbani” di QS 3: 79 dalam Jami’ul Bayan ‘an Ayil Quran menyebut 5 kriteria, penempuh jalan ilmu. Kelimanya: ‘Alim, Faqih, Bashirun bis Siyasah, Bashirun bit Tadbir, Al Qaim bi Syu’unir Ra’iyah li yushlihu Umura Dinihim wa Dunyahum.
Penempuh jalan ilmu adalah dia yang ‘Alim; sedang & terus berpengetahuan dengan pembelajaran tak kenal henti; mendalamkan & meluaskan. Sang ‘Alim tak mendikotomi ilmu jadi duniawi-agamawi; semuanya ilmu Allah selama dikaji dengan asmaNya & diguna bagi kemaslahatan insan.
Kemunduran abad IV hijriah, telaah Al Ghazali, di antaranya tersebab saling ejeknya para ahli ilmu nan terdikotomi duniawi & agamawi. Saat itu, mereka yang belajar ilmu fiqh merendahkan pembelajar matematika, astronomi, kedokteran, perdagangan, kimia, tata negara, dll. Sebutan “Budak Dunia” dilekatkan. Sebaliknya, para ahli fiqh dihujat “Munafiq”: menjual ilmu agama tuk kepentingan dunia; harta & kuasa.
Ahli Fiqh, kata Al Ghazali, harus hargai ilmu lain; sebab urusan ibadah pun tak bisa lepas dari aneka pengetahuan di luar fiqh tersebut. Bagi orang berpenyakit pencernaan misalnya, dokterlah yang akan jadi Mufti; apakah dia berpuasa Ramadhan atau tidak. Itu ilmu agamawi. Demikian jua ilmu tekstil; ia sangat agamawi sebab terkait dengan sah-batalnya ibadah dalam tertutupnya aurat; jenis kain hingga model.
Pun ilmu politik, -Al Ghazali menyebut keengganan muslim berpolitik menyebabkan beberapa PM non muslim-, ia mulia asal akhlaq dijaga. Jadilah ‘Alim; ketahui banyak tentang banyak hal, atau minimal spesialis berwawasan luas yang suka berbagi ilmu hingga jadi titik temu. Sebab terobosan besar biasanya tak datang dari pendalaman rinci spesialisasi, melainkan titik temu berbagai ilmu yang terbuka & maju.
Sejalan dengan jadi ‘Alim, jadilah jua seorang Faqih. Jangan hanya menjadi perbendaharaan ilmu, fahami juga interaksi ilmu-realita. Dalam umpama Asy Syafi’i, seorang ber ilmu tak cukup jadi Ahli Hadits, dia haruslah jua seorang Ahli Fiqh. Analoginya: Apoteker-Dokter. Ahli hadits & apoteker memahami ilmu segala bahan & racikan. Tapi otoritas beri ramuan & dosis pada ‘pasien’ ada di Ahli Fiqh & dokter. Sebab ahli fiqh & dokter tak hanya berpegang ilmu bahan & racikan, melainkan juga mempertimbangkan kondisi fisik, organ, & metabolisme. Maka mari menjadi Faqih; bagai Rahib khusyu’ di laboratorium & atmosfer ilmu, bagai singa tangkas & cermat menghadapi persoalan nyata.
Sifat Rabbani ke-3, urai Ath Thabari; Bashirun bis Siyasah, melek politik. Fahami agar tak terbudak, gunakan ia luaskan ilmu keshalihan. Sebab politik menyentuh sisi terluas kehidupan komunal, insan ber ilmu jangan sampai rabun sampai tak sadar disalahguna oleh kejahatan. Sebab kuasa kejahatan dunia politik yang berhasil memperbudak ahli ilmu akan menebar kerusakan yang sulit ditanggulangi. Mari waspada.
Sisi lain, penempuh jalan ilmu harus punya Political Awareness demi tercapainya tahap demi tahap tujuan kuasa keshalihan nan melayani. Lihat secontoh; Hijrah ke Habasyah. Mengapa yang berhijrah justru Ja’far, Utsman, & para bangsawan; bukan Bilal dkk nan tertindas? Sebab ada tujuan politik kebajikan.
Pertama, mengguncang kuasa tribalistik Quraisy; Makkah merenung saat warga terhormatnya pergi. Kedua; mengeksiskan muhajirin. Andai yang pergi para budak, Duta Besar Quraisy akan mudah mendeportasi mereka dengan alasan ‘lari’. Ketiga, menyiarkan kehadiran Islam pada dunia. Habasyah, subordinat Romawi nan istimewa, isu di sana menyebar ke seluruh kekaisaran. Keempat, Najasyi Habasyah dikenal adil & uskup-uskupnya berpengaruh. Interaksi muhajirin dengan mereka adalah pembelajaran berharga. Demikianlah, ujar Al Ghadban, tiap langkah dakwah Nabi menunjukkan mendalamnya Political Awareness beliau; analisa maupun tindakan.
Sifat Rabbani ke-4, catat Ath Thabari; Bashirun bit Tadbir; melek manajemen. Para ahli ilmu hendaknya memahami pengelolaan resources. Bukan cuma soal perencanaan, penataan, pelaksanaan, & kendali; melainkan bagaimana mengelola hati dari sosok-sosok penuh potensi. Lihat misalnya pemberdayaan SDM: “Yang terbaik dari kalian di masa jahiliah akan jadi nan terbaik dalam Islamnya, jika memahami.”
Mengutip Al Ghadban, kita bisa telaah diangkatnya ‘Amr ibn Al Ash sebagai panglima bawahi Abu Bakr & Umar begitu dia masuk Islam. Saking gembira & bangga dengan sambutan Nabi serta pengangkatannya sebagai panglima, ‘Amr bertanya, “Siapa yang paling kau cinta?” Maksud hati menyangka dirinya, tapi Sang Nabi menjawab dalam senyum, “‘Aisyah”. “Maksudku yang laki-laki!”, desak ‘Amr. “Ayahnya!” ‘Amr: Lalu siapa lagi? Nabi: Ayah Hafshah. ‘Amr: Sesudah itu? Nabi: Suami Ummu Kultsum. ‘Amr: Selanjutnya? Nabi: Suami Fathimah. “Lalu kuhentikan tanya”, aku ‘Amr, “Sebab khawatir namaku disebut paling akhir.” Pemuliaannya dahsyat, tapi Nabi jujur dalam cinta.
Maka berangkatlah ‘Amr bersama pasukannya, Ash Shiddiq & Al Faruq mengiring. Petang menjelang, mereka berkemah di cekungan gurun. Saat beberapa memasak & hangatkan badan, mendadak ‘Amr memerintahkan untuk mematikan api. ‘Umar marah & bangkit, “Apa maksudmu?” Abu Bakr menenangkan ‘Umar yang keberatan & nyaris tengkar dengan sang panglima. “Taatilah Ulil Amri nan diangkat Nabi, saudaraku!”
Setelah itu, ‘Amr memerintahkan untuk tak bicara & tak bergerak. Lalu terdengarlah derap ratusan kuda & teriakan perang membahana. Sadarlah semua bahwa mereka dipimpin panglima yang lihai membaca tanda alam & kehadiran musuh; ‘Amr ibn Al ‘Ash. ‘Umar minta maaf.
Esok pagi, mereka sampai di tempat yang diarahkan Nabi. ‘Amr menyuruh pasukan berhenti & minta izin untuk masuk kota seorang diri. “Jika sampai Dhuhr tiba aku belum kembali”, ujar ‘Amr, “Serbu masuk di bawah pimpinan Abu Bakr!”, pesannya. ‘Umar memprotes lagi.
“Semua juga berhak atas jihad, bukan hanya kau sendiri! Semua harus ditanggung bersama!”, kecam ‘Umar. Abu Bakr menenangkan lagi.
Belum berakhir waktu Dhuha, ‘Amr sudah kembali pada pasukannya disertai pemimpin kaum itu. Semua warga kini berislam tanpa syarat. Semua kini tahu, Nabi pilihkan mereka panglima yang lisannya lebih tajam dari seribu pedang; ‘Amr ibn Al ‘Ash. ‘Umar memeluknya. Nabi hargai potensi besar macam ‘Amr -juga Khalid- diiringi penginsyafan bahwa mereka harus berjuang lebih keras tuk cinta Ilahi.
Para pionir Islam ada di hati & cintanya. Tokoh hebat yang bergabung belakangan merasakan penghargaan, kesempatan bakti, & nasehat. Ketika ‘Abdurrahman ibn ‘Auf menentang kebrutalan Khalid lalu Khalid mengkasarinya, Nabi menegur Khalid dengan kalimat dahsyat. “Jangan pernah kau cela sahabatku hai Khalid. Demi Allah, andai kau infak emas segunung Uhud, takkan bisa samai segenggam kurmanya!”
Apa Khalid bukan sahabat? Ya sahabat. Tapi 8 bln nan penuh kemenangan itu jadi mungil disandingkan 20 th luka & duka ‘Abdurrahman. Uhud; kata itu menusuk nurani Khalid. Di sana ‘Abdurahman jadikan tubuhnya perisai lindungi Nabi saat Khalid berusaha bunuh beliau. Infaq; segenggam kurma ‘Abdurrahman tak tertandingi emas sepenuh gunung. Tapi memangnya pernah ‘Abdurrahman infaq cuma segenggam? Sekali ajakan Nabi, ‘Abdurrahman bisa mengeluarkan 40.000 dinar (x @ Rp. 1,67 Jt), kadang jua 1000 unta beserta seluruh muatannya. Bagaimana mungkin Khalid -apa lagi kita- bisa mengejarnya? Sejak saat itu, Khalid yang semula ganas & angkuh jadi lebih terkendali. Kisah tentang ‘Amr & Khalid adalah cerita melek manajemen tercontoh dari Sang Nabi untuk kita teladani sebagai penempuh jalan.
Kembali ke Ath Thabari, sifat ke-5 penempuh jalan ilmu Rabbani ialah Al Qaim bisy Syu’unir Ra’iyah liyushlihu Umura Dinihim wa Dunyahu. Artinya; terlibat aktif tegakkan urusan-urusan kerakyatan tuk memperbaiki perkara agama maupun dunia mereka. Ahli ilmu harus berjuang. Asas utama langgengnya nilai & tatanan -baik kebaikan maupun kejahatan- adalah kebermanfaatan nan dirasakan kaum luas (QS 13: 17). Sebab kejahatan sering tersamarkan oleh keberhasilan yang diraihnya, ahli ilmu harus tak sekedar sukses, melainkan jua bermanfaat luas.
Keterlibatan ahli ilmu dalam pengentasan kemiskinan & distribusi sumberdaya jadi jaminan kesehatan & pendidikan; memuliakan keduanya. Ahli ilmu semacam itu pasti menjadi inspirasi; GURU: di-GUgu (ditaati) & di-tiRU (diteladani). Ilmu jadikan amal shalihnya tumpah ruah. Seperti Nabi; tak hanya membaca ayat & mensuci jiwa. Dia kenalkan Allah lewat kerja kebajikan; bebaskan budak, santuni fakir-yatim. Pun dalam tindasan, itu terus dilakukan; hingga kelak ketika menggenggam kuasa dengan jemari cinta, tak lagi gagap jamakkan karya.
Jalan ilmu yang berat ini dengan kelima kualitas nan dituntutkan via Tafsir Ath Thabari, harus dimulai dengan 6 modal ala Asy Syafi’i. Ke-6 modal manusia pembelajar yang dinisbat pada Asy Syafi’i itu; Dzaka’, Hirsh, Ijtihad, Dirham, Shahibul Ustadz, & Thuuluz Zaman. [ ]
Diambil dari tulisan Ust. Salim A. Fillah berjudul “Jalan Ilmu”

Sabtu, 16 Mei 2015

Rahasia Kebahagiaan

   وصية ﺍﻟﺸﻨﻘﻴﻄﻲ لابنه :
Wejangan syekh Asy syinqithi kepada anaknya
  "عن السعادة"
RAHASIA KEBAHAGIAAN
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
ﻳﺎﻭﻟﺪﻱ... ﺭﺍﺟﻊ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ؛ ﻻﺗﻨﺴﻪ... ﺃﻣﺎﻣﻚ ﺣﻔﻞ ﺗﻜﺮﻳﻢ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ، ﻟﻴﺲ ﻛﺎﺣﺘﻔﺎﻻﺕ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ
ﺇﻳﺎﻙ ﺃﻥ ﺗﺨﻄﺊ ﻭﻗﺪ ﻗﻴﻞ ﻟﻚ: ‏(ﺍﻗﺮﺃ ﻭﺍﺭﺗﻖ ﻭﺭﺗﻞ)
Wahai ananda,  ulangi terus membaca Alquran,  jgn sampai melupakannya, kelak hari kiamat akan ada acara penghargaan yg tidak sama dg acara2 di dunia,  oleh karena itu jgn sampai salah,  padahal sudah disampaikan kepadamu "bacalah,  naiklah dan tartilkanlah.. "
جالس العلماء بعقلك 
Duduklah bersama ulama dg akalmu

وجالس الامراء بعلمك
Duduklah bersama pemimpin dg ilmumu
وجالس الاصدقاء بأدبك
Duduklah bersama teman dg etikamu
وجالس أهل بيتك بعطفك
Duduklah bersama keluarga dg kelembutanmu
وجالس السفهاء بحلمك
Duduklah bersama org bodoh dg kemurahan hatimu
وكن جليس ربك بذكرك
Jadilah teman Allah dg mengingatNYA
وكن جليس نفسك بنصحك
Dan jadilah teman bagi diri anda sendiri dg nasihatmu
لا تَحزنْ على طيبتك؛ فَإن لَم يُوجَد في الارض مَن يقدرها؛ ففي السَماء مَن يباركهَا...
Tidak usa bersedih jika di dunia tidak ada yg menghargai kebaikanmu,  karena di langit ada yg mengapresiasinya
حياتنا كالورود فيها من الجمال ما يسعدنا وفيها من الشوك ما يؤلمنا.
Kehidupan kita ibarat mawar,  disamping memiliki keindahan yg bikin kita bahagia,  juga memiliki duri yg bikin kita tersakiti
ما كان لك سيأتيك رغم ضعفك.!!
Apa yg ditetapkan bagimu niscaya akan mendatangimu,  meskipun kamu tdk ada daya
وما ليس لك لن تناله بقوتك.!!
Sebaliknya apa yg bukan milikmu,  kamu tidak akan mampu meraihnya dg kekuatanmu
لا أحد يمتاز بصفة الكمال سوى اللہ. لذا كف عن نبش عيوب الآخرين.
Tidak seorangpun yg memiliki sifat sempurna selain Allah,  oleh karna itu berhentilah dr menggali aib orang lain

الوعي في العقول وليس في الأعمار، فالأعمار مجرد عداد لأيامك، أما العقول فهي حصاد فهمك وقناعاتك في حياتك..
Kesadaran itu pada akal,  bukan pada usia,  umur hanyalah bilangan harimu,  sedangkan akal adalah hasil pemahaman dan kerelaanmu trhadap kehidupanmu
كن لطيفاً بتحدثك مع الآخرين، فالكل يعاني من وجع الحياة وأنت ﻻتعلم.
Berlemah lembutlah ketika bicara dg orang lain, krn  setiap org merasakan derita hidupnya masing2, sedangkan kamu tdk mengetahuinya
كل شيء ينقص إذا قسمته على اثنين إلا
                "السعادة"
فإنها تزيد إذا تقاسمتها مع الآخرين.
Semua hal akan berkurang jika dibagi bagi,  kecuali KEBAHAGIAAN,  justru akan bertambah jika kamu bagi kepada yg lain
 
Blogger Templates