Social Icons

Senin, 04 Juli 2016

Zaman Ini Membutuhkan Manusia-Manusia Baru

KHUTBAH IDUL FITRI 1437 H
Zaman Ini Membutuhkan Manusia-Manusia Baru
Oleh :HM. Anis Matta

اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ
اللهُ أكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً
لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ اللهُ أَكْبَرُ ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِِّ الْحَمْدُ ...
الحَمْدُ للهِ الذِي رَبَّاناَ عَلَى الشَّدَائِدِ وَالْمَلاَحِمِ باِلصّيَامِ ، وَجَعَلَنَا باِلصّبْرِ وَالْيَقِيْنِ أَئِمَّةَ
اْلأنَاَمِ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةَ صِدْقٍ وَحقٍّ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمَبْعُوْثُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
Hari ini kita hadir di sini setelah menuntaskan puasa tiga puluh hari. Semoga sekolah Ramadan ini telah melahirkan kita menjadi manusia manusia baru.

Manusia manusia yang selama puasa, taubatnya telah menyingkap tabir antara dirinya dengan langit, yang munajat-munajatnya telah mencurahkan rahmat Allah ke dalam dirinya, yang tilawah dan i’tikafnya telah membebaskannya dari ancaman api neraka.

Semoga sekolah Ramadan ini telah melahirkan kita kembali menjadi manusia manusia baru; yang orientasi hidupnya meraih ridha Allah jelas tertancap dalam sanubarinya, yang peta jalannya menuju surga jelas terbayang dalam benaknya, yang tekadnya beramal tak kan dapat dihalangi oleh rintangan sebesar apapun.
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي للهَِِّ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya: “Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am: 162)
اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ وَللهِِّ الْحَمْدُ
Hari ini kita hadir di sini, bersimpuh bersama, di hadapan Allah SWT, sebagai alumni sekolah Ramadan, dan siap untuk berikrar bersama, dengan penuh kesadaran, dan kemantapan hati, bahwa kita telah selesai dengan diri sendiri, bahwa kita telah membersihkan semua debu yang menempel dalam pikiran
dan jiwa kita, bahwa kita telah membetulkan kembali kompas yang menuntun jalan hidup kita, bahwa kita telah menyiapkan kendaraan fisik kita, untuk memikul beban dan amanah perjuangan.

Hari ini kita hadir di sini, bersimpuh bersama di hadapan Allah SWT, sebagai alumni sekolah Ramadan, dan siap untuk berikrar bersama, dengan penuh kesadaran, dan kemantapan hati, bahwa kita adalah manusia-manusia baru yang telah menyelesaikan persoalannya dengan diri sendiri; yang telah mengosongkan pikirannya dari kebodohan, kepicikan, dan mengisinya dengan
orientasi dan peta jalan hidup serta ilmu yang benar; yang mengosongkan hatinya dari keangkuhan, kemunafikan, riya’, dengki dan dendam lalu menggantinya dengan kerendahan hati, kejujuran, cinta dan kasih sayang; yang telah mengganti lemak-lemak jahat dalam tubuhnya dengan otot-otot yang
sehat dan kuat. Kita adalah manusia-manusia baru yang telah terbebaskan dan tercerahkan, yang siap memikul tanggung jawab sejarah, yang menyatu dengan cinta bersama saudara-saudaranya sesama ummat, demi memikul amanah kebangkitan.

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهَِّ
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)

اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ وَللهِِّ الْحَمْدُ
Tidakkah saudara-saudara menyaksikan umat kita tercabik-cabik di mana-mana? Di depan mata kita ada 300 ribu mayat warga Syiria yang terbantai.

Ada 12 juta sisanya yang menjadi pengungsi ke hampir seluruh penjuru dunia. Lalu berapakah jumlah saudara-saudara kita yang dibunuh dan dibantai di Irak, di Mesir, di Yaman, di Libya?

Lalu berapa banyak pemuda-pemudi Palestina yang setiap hari berguguran sebagai syahid? Tidakkah saudara-saudara menyaksikan bagaimana para pemimpin Islam di Bangladesh digantung satu persatu secara bergiliran?

Tidakkah saudara-saudara menyaksikan bagaimana bom telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Pakistan, di Afghanistan, bahkan di Turki? Baik karena perang saudara, atau kebengisan rezim sekuler, atau intervensi militer negara lain, yang pasti semua itu telah melahirkan wajah dunia Islam yang carut marut, penuh darah dan air mata.

Saya bahkan tidak tahu apakah kita yang hadir di sini punya hak untuk tertawa di hari lebaran ini, sementara saudara-saudara kita di belahan bumi lain bersimbah darah dan air mata?

Tidakkah saudara-saudara menyaksikan bagaimana orang-orang miskin dan tidak berpendidikan menjadi penduduk mayoritas di semua negara Islam? Para pengemis memenuhi jalan-jalan raya di seluruh kota besar dunia Islam.

Saya bahkan tidak mengetahui apakah kita punya alasan untuk bergembira hari ini sementara saudara-saudara kita di belahan bumi lain tidak punya sesuatu yang bisa mereka makan dan bisa mereka pakai di hari lebaran ini?

Itulah umat kita. Itulah dunia Islam kita. Kebodohan, kemiskinan dan perang adalah kosa kata
yang memenuhi wajah kita. Seakan-akan misi agama ini membawa rahmat tak pernah hadir di tengah umat kita.

اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ وَللهِِّ الْحَمْدُ
Tapi di hadapan kita juga ada fenomena lain. Peradaban yang sekarang menguasai dunia dengan system globalnya juga sedang menuju ke keruntuhannya secara perlahan namun pasti. Sebab utama dari keruntuhan ini adalah kezaliman yang nyata, terutama dalam bidang politik, ekonomi dan sosial. Mereka menciptakan perang dan kemiskinan di mana-mana. Mereka menyedot kekayaan bangsa-bangsa lain dan menciptakan ketimpangan
ekonomi sosial yang mengerikan secara global. Sekarang kezaliman itu telah sampai pada puncaknya. Dan Allah mulai memutar arah jarum sejarah.

وَإِذَا أَرَدْنَا أَن نُّهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا
تَدْمِيرًا
Artinya: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menta'ati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Israa’: 16)

Maka lihatlah bagaimana krisis ekonomi mulai melilit mereka,
membangkrutkan negara dan perusahaan-perusahaan besar. Kini krisis itu telah menciptakan konflik politik di kalangan elit mereka yang sangat mendalam. Konflik elit politik itu bahkan dapat menyeret mereka ke dalam perpecahan dan perang saudara.

اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ وَللهِِّ الْحَمْدُ
Jadi di hadapan kita kini, ada dua fenomena sejarah. Ada umat Islam yang sakit, dililit kebodohan, kemiskinan, dan peperangan, tapi berusaha bangkit namun tertatih-tatih dan terseok-seok. Tapi juga ada peradaban besar yang kezalimannya kepada bangsa-bangsa lain dan kepada umat manusia kini menghantar mereka menuju keruntuhan.

Ada umat yang bangkit melakukan perlawanan namun berdarah-darah. Ada peradaban yang sedang runtuh dan
berusaha mempertahankan kedigdayaannya dan juga berdarah-darah. Kita seperti menyaksikan dua tangisan yang kontras. Ada tangis kelahiran, ada tangis kematian. Setiap bayi yang lahir selalu disertai air mata. Setiap orang yang mati juga dihantar dengan air mata. Di manakah dua grafik itu kelak bertemu? Grafik kebangkitan dari umat kita yang terseok dan grafik keruntuhan mereka yang lamban namun pasti?

وَتِلْكَ الْأيََّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللهَُّ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنكُمْ شُهَدَاءَ
Artinya: “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian
kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada.” (QS. Ali Imran: 140)

اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ وَللهِِّ الْحَمْدُ
Pada suatu titik dalam sejarah dua grafik itu kelak akan bertemu. Di saat pertemuan itu Allah memenuhi janji-Nya.

وَنُرِيدُ أَن نَّمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الْأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِينَ
Artinya: "Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi). (QS. Al-Qashas: 5)

وَعَدَ اللهُ الَّذينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
وَ لَيُمَكِّنَّنَ لَهُمْ دينَهُمُ الَّذِي ارْتَضى لَهُمْ وَ لَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَني لا يُشْرِكُونَ بي شَيْئاً
وَ مَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذلِكَ فَأُولئِكَ هُمُ الْفاسِقُونَ
Artinya: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Annur: 55)

Tapi janji Allah itu hanya akan terwujud dengan kerja manusia, kerja keras kita. Hanya Islamlah agama yang pantas menggan1kan peradaban yang akan runtuh ini. Tapi agama ini membutuhkan pahlawan-pahlawan agung, yang keagungannya sesuai dengan keagungan ajarannya. Alangkah agungnya agama ini, kalau saja ia dipikul oleh pahlawan-pahlawan agung. Pahlawan-pahlawan
yang batas pandangannya adalah langit, yang batas mimpinya adalah surga, yang semangatnya mengalahkan kelelahannya, yang kecerdasannya mengalahkan tantangannya. Dalam situasi seperti ini, umat ini membutuhkan pemimpin pemimpin yang jujur, bekerja dengan penuh keyakinan dan kesabaran, memahami realitas zamannya secara mendalam, serta bekerja
dengan peta jalan yang jelas.
رَحِمَ اللهُ امْرأً عَرَفَ زَمَانَهُ فَاسْتَقَامَتْ طَرِيْقَتُهُ
Artinya: “Semoga Allah merahmati seseorang yang memahami zamannya, maka menjadi luruslah jalannya.”

اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ وَللهِِّ الْحَمْدُ
Kita sedang berada di persimpangan sejarah. Zaman ini membutuhkan manusia-manusia baru yang telah ditempa dalam sekolah Ramadan. Manusia-manusia baru yang datang dengan tekad seorang pahlawan untuk mengubah tangis kebangkitan ini menjadi mimpi peradaban yang menggelorakan, menjadi cinta yang mempersaudarakan dan menyatukan langkah, menjadi
energi yang melahirkan kerja keras yang tak kenal lelah.

Zaman ini membutuhkan manusia-manusia baru; yang memiliki keyakinan Nabi Nuh menghadapi ejekan orang-orang terhadap dirinya saat ia menyiapkan perahu yang akan menyelamatkan umat manusia. Zaman ini memerlukan manusia-manusia baru; yang dapat mewarisi keberanian Dawud menghadapi
Jalut. Zaman ini membutuhkan manusia-manusia baru; yang keikhlasannya menyatu dengan kecerdasannya, yang firasatnya menyatu dengan pengetahuannya, yang tekadnya menyatu dengan peta jalannya, yang langkah kakinya sejauh pandangan matanya, yang kerja kerasnya menyatu dengan inovasinya.

Zaman ini membutuhkan manusia-manusia baru; yang dapat menyatukan lidi-lidi yang berserakan menjadi sapu, mengurai kerumitan masalah menjadi kerangka kerja yang terang benderang, yang mengubah organisasi menjadi arus yang mengalirkan energi dan potensi umat kepada muara peradaban.

Zaman ini membutuhkan manusia-manusia baru; yang dapat membawa ruh masjid ke pasar pasar, ke jalan jalan, ke sekolah-sekolah, dan ke dalam kantor-kantor pemerintahan.

Zaman ini memerlukan manusia-manusia baru; yang dapat menyatukan apa yang tidak dapat disatukan oleh peradaban ini. Yaitu; masjid, pasar dan negara. Mereka bukan manusia-manusia yang terbelah, yang selalu memisahkan masjid dengan pasar, atau masjid dengan negara, yang memisahkan antara ketaatan kepada Tuhan dengan cinta kepada tanah air, yang memisahkan antara kerja-kerja dakwah dan kerja-kerja politik.

Zaman ini memerlukan manusia-manusia baru; yang tercerahkan, yang tahu bagaimana menyatukan antara kesalihan pribadi dan kepemimpinan politik yang tangguh.

Saudara-saudara sekalian, semoga Allah menjadikan kita sebagai manusiamanusia baru itu. Semoga Allah menjadikan kita sebagai sebab kebangkitan dan kejayaan umat ini. Maka marilah kita berdoa dengan doa Nabi Ibrahim:
رَبِّ هَبْ لِي حُكْمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ ، وَاجْعَل لِّي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ ،
وَاجْعَلْنِي مِن وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيمِ
Artinya: (Ibrahim berdo'a): "Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh
keni'matan.” (QS. Assyu’ara: 83-85).
أَقُولُ قَوْلِي هذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ

Selasa, 24 Mei 2016

Fitnah dan Kemoceng

“Kyai, maafkanlah saya yang telah memfitnah pak kyai dan ajarkan saya sesuatu yang bisa menghapuskan kesalahan saya ini.” Aku berusaha menjaga lisanku, tak ingin sedikitpun menyebarkan kebohongan dan menyinggung perasaan kyai.

Kyai Husain terkekeh. “Apa kau serius?” Katanya.

Aku menganggukkan kepalaku dengan penuh keyakinan. “Saya serius, Kyai. Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya.”

Kyai Husain terdiam beberapa saat. Ia tampak berfikir. Aku sudah membayangkan sebuah doa yang akan diajarkan Kyai Husain kepadaku, yang jika aku membacanya beberapa kali maka Allah akan mengampuni dosa-dosaku. Aku juga membayangkan sebuah laku, atau tirakat, atau apa saja yang bisa menebus kesalahan dan menghapuskan dosa-dosaku. Beberapa jenak kemudian, Kyai Husain mengucapkan sesuatu yang benar-benar di luar perkiraanku. Di luar perkiraanku—

“Apakah kau punya sebuah kemoceng di rumahmu?” Aku benar-benar heran Kyai Husain justru menanyakan sesuatu yang tidak relevan untuk permintaanku tadi.

“Maaf, Kyai?” Aku berusaha memperjelas maksud kyai Husain.

Kyai Husain tertawa, seperti kyai Husain yang biasanya. Diujung tawanya, ia sedikit terbatuk. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menghampiriku, “Ya, temukanlah sebuah kemoceng di rumahmu,” katanya.

Tampaknya Kyai Husain benar-benar serius dengan permintaannya. “Ya, saya punya sebuah kemoceng di rumah, Kiai. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?”

Kyai Husain tersenyum.

“Besok pagi, berjalanlah dari rumahmu ke pondokku,” katanya, “Berjalanlah sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kau mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kau lalui.”

Aku hanya bisa mengangguk. Aku tak akan membantahnya. Barangkali maksud kyai Husain adalah agar aku merenungkan kesalahan-kesalahanku. Dan dengan menjatuhkan bulu-bulunya satu per satu, maka kesalahan-kesalahan itu akan gugur diterbangkan waktu…

“Kau akan belajar sesuatu darinya,” kata kyai Husain. Ada senyum yang sedikit terkembang di wajahku.

***

Keesokan harinya, aku menemui Kyai Husain dengan sebuah kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai bulupun pada gagangnya. Aku segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada beliau.

“Ini, Kyai, bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari 5 km dari rumah saya ke pondok ini. Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang Kiai. Saya menghitung betapa luasnya fitnah-fitnah saya tentang Kiai yang sudah saya sebarkan kepada begitu banyak orang. Maafkan saya, kyai. Maafkan saya…”

Kyai Husain mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada kehangatan yang aku rasakan dari raut mukanya. “Seperti aku katakana kemarin, aku sudah memaafkanmu. Barangkali kau hanya khilaf dan hanya mengetahui sedikit tentangku. Tetapi kau harus belajar seusatu…,” katanya.

Aku hanya terdiam mendengar perkataan Kyai Husain yang lembut, menyejukkan hatiku.

“Kini pulanglah…” kata Kyai Husain.

Aku baru saja akan segera beranjak untuk pamit dan mencium tangannya, tetapi Kiai Husain melanjutkan kalimatnya, “Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kau menuju pondokku tadi…”
Aku terkejut mendengarkan permintaan kyai Husain kali ini, apalagi mendengarkan “syarat” berikutnya: “Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yang tadi kaucabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kau kumpulkan.”

Aku terdiam. Aku tak mungkin menolak permintaan Kyai Husain.

“Kau akan mempelajari sesuatu dari semua ini,” tutup Kyai Husain.

***

Sepanjang perjalanan pulang, aku berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi kulepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan. Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin, atau menempel di sebuah kendaraan yang sedang menuju kota yang jauh, atau tersapu ke mana saja ke tempat yang kini tak mungkin aku ketahui.

Tapi aku harus menemukan mereka! Aku harus terus mencari ke setiap sudut jalanan, ke gang-gang sempit, ke mana saja!

Aku terus berjalan.

Setelah berjam-jam, aku berdiri di depan rumahku dengan pakaian yang dibasahi keringat. Nafasku berat. Tenggorokanku kering. Di tanganku, kugenggam lima helai bulu kemoceng yang berhasil kutemukan di sepanjang perjalanan.

Hari sudah menjelang petang. Dari ratusan yang kucabuti dan kujatuhkan dalam perjalanan pergi, hanya lima helai yang berhasil kutemukan dan kupungut lagi di perjalanan pulang. Ya, hanya lima helai. Lima helai.

***

Hari berikutnya aku menemui Kyai Husain dengan wajah yang murung. Aku menyerahkan lima helai bulu kemoceng itu pada Kyai Husain. “Ini, Kyai, hanya ini yang berhasil saya temukan.” Aku membuka genggaman tanganku dan menyodorkannya pada Kyai Husain.

Kyai Husain terkekeh. “Kini kau telah belajar sesuatu,”katanya.

Aku mengernyitkan dahiku. “Apa yang telah aku pelajari, Kyai?” Aku benar-benar tak mengerti.

“Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab kyai Husain.

Tiba-tiba aku tersentak. Dadaku berdebar. Kepalaku mulai berkeringat.

“Bulu-bulu yang kaucabuti dan kaujatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yang kausebarkan. Meskipun kau benar-benar menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yang beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin bisa kau duga-duga, ke berbagai wilayah yang tak mungkin bisa kauhitung!”

Tiba-tiba aku menggigil mendengarkan kata-kata Kiai Husain. Seolah-olah ada tabrakan pesawat yang paling dahsyat di dalam kepalaku. Seolah-olah ada hujan mata pisau yang menghujam jantungku. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Aku ingin mencabut lidahku sendiri.

“Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri… Barangkali kau akan berusaha meluruskannya, karena kau benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kau tak tak ingin mendengarnya lagi. Tetapi kau tak bisa menghentikan semua itu! Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kau bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kau kubur dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya.”
“Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Agama menyebutnya sebagai dosa jariyah. Dosa yang terus berjalan diluar kendali pelaku pertamanya. Maka tentang fitnah-fitnah itu, meskipun aku atau siapapun saja yang kau fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya. Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi. Maka kau tak bisa menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak.”

Tangisku benar-benar pecah. Aku tersungkur di lantai.
“Astagfirulloh hal-adzhim… Astagfirullohal-adzhim…
Astagfirulloh hal-adzhim…”
Aku hanya bisa terus mengulangi istighfar. Dadaku gemuruh. Air mata menderas dari kedua ujung mataku.

“Ajari saya apa saja untuk membunuh fitnah-fitnah itu, Kyai. Ajari saya! Ajari saya! Astagfirulloohal-adzhim…” Aku terus menangis menyesali apa yang telah aku perbuat.

Kyai Husain tertunduk. Beliau tampak meneteskan air matanya.“ Aku telah memaafkanmu setulus hatiku, Nak,” katanya, “Kini, aku hanya bisa mendoakanmu agar Allah mengampunimu, mengampuni kita semua. Kita harus percaya bahwa Allah, dengan kasih sayangnya, adalah zat yang maha terus menerus menerima taubat manusia… Innallooha tawwaabur-rahiim...”

Aku disambar halilintar jutaan megawatt yang mengguncangkan batinku! Aku ingin mengucapkan sejuta atau semiliar istighar untuk semua yang sudah kulakukan! Aku ingin membacakan doa-doa apa saja untuk menghentikan fitnah-fitnah itu!

“Kini kau telah belajar sesuatu,” kata Kyai Husain, setengah berbisik. Pipinya masih basah oleh air mata.
*****

Kamis, 28 April 2016

Rizki dari Allah

Ada 4 cara Allah memberi rezeki kepada makhluk-Nya:

1. REZEKI TINGKAT PERTAMA (YANG DIJAMIN OLEH ALLAH)

"Tidak suatu binatangpun (termasuk manusia) yg bergerak di atas bumi ini yg tdk dijamin oleh Allah rezekinya."(QS. 11: 6)

Artinya Allah akan memberikan kesehatan, makan, minum untuk seluruh makhluk hidup di dunia ini. Ini adalah rezeki dasar yang terendah.

2. REZEKI TINGKAT KEDUA

"Tidaklah manusia mendapat apa-apa kecuali apa yg telah dikerjakannya" (QS. 53: 39)

Allah akan memberikan rezeki sesuai dengan apa yang dikerjakannya. Jika ia bekerja dua jam, dapatlah hasil yang dua jam. Jika kerja lebih lama, lebih rajin, lebih berilmu, lebih sungguh-sungguh, ia akan mendapat lebih banyak. Tidak pandang dia itu muslim atau kafir.

3. REZEKI TINGKAT KETIGA

“... Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. 14: 7)

Inilah rezeki yang disayang Allah. Orang-orang yang pandai bersyukur akan dapat merasakan kasih sayang Allah & mendapat rezeki yang lebih banyak. Itulah Janji Allah! Orang yang pandai bersyukurlah yg dapat hidup bahagia, sejahtera & tentram. Usahanya akan sangat sukses, karena Allah tambahkan selalu.

4. REZEKI KE EMPAT (UNTUK ORANG BERIMAN DAN BERTAQWA)
".... Barangsiapa yg bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yg tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yg bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
(QS.Ath-Thalaq/65:2-3)

Peringkat rezeki yang ke empat ini adalah rezeki yang istimewa, tidak semua orang bisa meraihnya. Orang istimewa ini (muttaqun) adalah orang yang benar-benar dicintai & dipercaya oleh Allah untuk memakmurkan atau mengatur kekayaan Allah di bumi ini..

Kamis, 10 Maret 2016

Sholih dan Mushlih


⭐ ما الفرق بين
الصالح والمصلح ؟
Apa bedanya Orang Baik (Shalih) dan Penyeru Kebaikan (Mushlih)..?

الصالح
خيره لنفسه
       والمصلح
      خيره لنفسه ولغيره
Orang Baik, melakukan kebaikan utk dirinya..
Penyeru Kebaikan, mengerjakan kebaikan utk dirinya dan orang lain..

الصالح
تحبُه الناس .
        والمصلح
         تعاديه الناس
Orang Baik, dicintai manusia..
Penyeru Kebaikan dimusuhi manusia..

🗯 لماذا !!!؟؟؟؟
Koq...?!?!

الحبيب المصطفى
(صلى الله عليه وسلم)
قبل البعثة أحبه قومه
لأنه صالح .
Rasul Tercinta SAW sebelum diutus, dicintai oleh kaumnya karena Beliau adalah Orang Baik..

ولكن لما
بعثه الله تعالى
صار مصلحًا فعادوه
وقالوا ساحر كذاب مجنون.
Namun ketika Allah ta'ala mengutusnya sebagai Penyeru Kebaikan, kaumnya langsung memusuhinya dengan menggelarinya; Tukang sihir, Pendusta, Gila..

🗯 ما السبب ؟
لأن المصلح
يصطدم بصخرة
أهواء من يريد أن
  يصلح من فسادهم .
Apa sebabnya..?
Karena Penyeru Kebaikan 'menyikat' batu besar nafsu angkara dan memperbaikinya dari kerusakan..

ولذا أوصى
لقمان ابنه بالصبر
حين حثه على الإصلاح
      لأنه سيقابل بالعداوة.
Itulah sebabnya kenapa Luqman menasihati anaknya agar BERSABAR ketika melakukan perbaikan, karena dia pasti akan menghadapi permusuhan..

( يا بني
أقم الصلاة
وأمر بالمعروف
    وانهَ عن المنكر
  واصبر على ما أصابك )
Hai anakku tegakkan sholat, perintahkan kebaikan, laranglah kemungkaran, dan bersabarlah atas apa yg menimpamu..

💡قال أهل
الفضل والعلم :
مصلحٌ واحدٌ أحب إلى
الله من آلاف الصالحين ،
Berkata ahli ilmu:
Satu Penyeru Kebaikan lebih dicintai Allah daripada ribuan Orang Baik..

لأن المصلح
يحمي الله به أمة ،
والصالح يكتفي بحماية نفسه .
Karena melalui Penyeru Kebaikan itulah Allah jaga umat ini..
Sedang Orang Baik hanya cukup menjaga dirinya sendiri..

🍃فقد قال الله
عزَّ و جلَّ في
    محكم التنزيل :
Berkalam Allah Azza wa Jalla :

( وَمَا كَانَ رَبُّكَ
لِيُهْلِكَ الْقُرَىٰ بِظُلْمٍ
      وَأَهْلُهَا مُصْلِحُون َ).
"Dan tidaklah Tuhanmu membinasakan satu negeri dgn zalim padahal penduduknya adalah Penyeru Kebaikan.."

ولم يقل صالحون ..
Allah tidak berkalam;
"...Orang Baik (Sholih)"

🌱كونوا مصلحين
        ولا تكتفوا بأن
          تكونوا صالحين 💐
Maka jadilah PENYERU KEBAIKAN, jangan merasa puas hanya sebagai ORANG BAIK saja..💐

 
Blogger Templates